Rencana Tuhan terasa begitu indah.
Awalnya, aku hanyalah seorang pria introvert yang rendah diri. Sering aku merasa takut jika harus bertemu atau sekadar berhadapan muka dengan orang lain. Takut nanti mau ngomong apa, menjawab apa jika mulai diajak ngobrol.
Semua mulai berubah, saat aku ditunjuk menjadi Ketua Mudika di lingkunganku. Entah bagaimana awalnya bapak Ketua Lingkungan, mempercayakan tugas ini kepadaku, barangkali memang tidak ada orang lain yang bersedia. Sungguh, semuanya berawal dari keterpaksaan. Aku tidak mengerti dan tidak tahu apa yang harus aku lakukan. Namun seiring dengan berjalannya waktu dan berkat bantuan rekan-rekan serta para orang tua, perlahan-lahan aku mulai menemukan kepercayaan diri. Aku mulai menikmati tugasku sebagai Ketua Mudika. Dan berkat jabatan ini (kalau boleh dikatakan demikian) wawasanku semakin bertambah. Aku menjadi terbiasa berbicara di depan orang lain dan rasa takut pun sedikit demi sedikit menghilang. Ada begitu banyak kesempatan yang kemudian menghampiriku. Mengikuti pelatihan koor dan pemazmur. Menjadi dirigen. Menjadi pendamping dalam kegiatan sekolah minggu. Bergabung dengan kepengurusan Mudika wilayah hingga keterlibatanku dalam kegiatan kesenian di parokiku. Sungguh, semuanya sudah direncanakan Tuhan dengan begitu indah.
Berkat kegiatan kesenian ini pula aku menemukan gadis idamanku. Seorang gadis sederhana yang murah senyum dan cantik. Ini menjadi pengalaman pertama buatku, mengenal lebih dekat dan menjalin hubungan serius dengan seorang gadis. Aku bertekad ingin menjadikan hubungan ini sebagai yang pertama dan yang terakhir dalam perjalanan hidupku. Ternyata tidak mudah untuk mewujudkan hal ini. Banyak sekali godaan yang datang menghampiri. Bertemu dan berkenalan dengan gadis-gadis lain. Rasa suka yang kemudian timbul. Tapi entah mengapa selalu ada ‘warning’ yang mencegahku jika mulai ada perasaan berlebih terhadap gadis yang lain. “Aku sudah memiliki pacar!” tegas hatiku.
Setelah hampir sembilan tahun berpacaran, akhirnya kami menikah dalam pernikahan suci di depan altar gereja. Perasaan kami saat itu sungguh tidak dapat dilukiskan dengan kata-kata. Hanya kebahagiaan yang demikian membuncah menyesaki dada.
Kini, sudah hampir delapan tahun kami mengarungi hidup bersama sebagai satu keluarga. Setiap hari tak henti-hentinya kami bersyukur atas rencana-Nya yang begitu indah. Namun, kami merasa sedih. Kami merasa masih ada yang kurang dalam kehidupan keluarga kami karena hingga saat ini kami belum dikaruniai keturunan. Kadang kami iri dengan keluarga-keluarga lain yang usia pernikahannya ada di bawah kami. Baru beberapa bulan menikah, kehamilan itu sudah datang. Sering kami bertanya di dalam doa-doa kami, “Tuhan, kapan Kau berikan keturunan untuk kami? Kapan kami bisa menimang bayi mungil buah cinta kami?”
Mulanya, kegelisahan ini begitu menggelayuti kami terutama untukku. Lebih-lebih ketika ada tetangga atau saudara yang bertanya, “Sudah punya anak, Mas? Anaknya berapa, Mas?” Aku jadi bertambah sedih dan kadang merasa malu. Namun perlahan-lahan, aku mulai bisa menerima situasi ini. Benar kata seorang adik kepadaku, “Mas, mungkin memang belum saatnya Tuhan memberikan keturunan. Percayalah, pasti akan tiba waktunya, sebab rencana-Nya selalu sempurna.” Ya, mungkin memang belum saatnya karena Tuhan masih memakai kami untuk bekerja di ladang-Nya (saat ini kebetulan kami aktif dalam pelayanan di gereja. Istriku sebagai Lektor/pembaca firman Tuhan dan pendamping sekolah minggu. Sedangkan aku menjadi bagian dari pengurus dewan paroki sebagai tim kerja KOMSOS yang menangani pewartaan kegiatan-kegiatan gereja).
Rencana Tuhan bagiku sungguh terasa begitu indah. Ketika Ia dengan secara tidak terduga mengenalkan aku dengan dunia ‘BLOG’. BLOG yang membuat aku ‘kembali’ ketagihan untuk menulis. Suatu kegemaran yang sudah sekian lama aku tinggalkan.
Syukur, ya Tuhan sebab semua yang kau lakukan kepadaku adalah rencana-Mu yang begitu indah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar