Senin, 19 Januari 2009

Ternyata…

Pagi ini aku mengalami suatu kejadian yang baru ‘pertamakalinya’ terjadi dalam kehidupanku. Ceritanya begini: Aku dan istriku sedang menikmati jalan kaki sehabis mengikuti misa pagi di gereja ketika ada sebuah mobil yang sedang parkir di perempatan jalan. Karena penasaran, sambil lalu aku menyempatkan diri untuk melihat siapa yang ada di balik mobil itu. Tiba-tiba yang empunya mobil keluar lalu berkata dengan nada tinggi, “Mas, kok matane melotot nopo!”

Aku yang tidak merasa dipanggil tetap melanjutkan langkahku. “Mas, mas, nopo kok mau melototi aku!!!” orang tersebut berteriak lebih keras. Aku baru ‘ngeehhh’ ternyata aku yang dimaksud. Sesaat aku berhenti. Istriku yang ada di depanku berkata, “Wis mas rak sah diladeni…” Aku kembali melanjutkan langkah. Namun ternyata orang itu masih mengejarku. Dan ketika sudah berhadap-hadapan, segera saja ia memegang tanganku sambil berkata, “Nopo kok mau mlototi aku mas. Aku dudu maling!”

“Lho, mas aku kan ora maksud koyo ngono kuwi? Aku mung biasa wae, kok.” jawabku penuh ketidakmengertian

“Ora! Aku luwih ngerti! Aku ki wis biasa nangkep maling!” ujarnya lagi. (kebetulan orang ini adalah tetangga istriku yang jadi polisi).

“Wis,wis, wis mas… ayo bali wae!” istriku menyeretku. Ada isak tertahan dalam perkataannya.

“Bojomu diajari mbak ben matane ojo jelalatan kaya ngono kuwi!” tegasnya sambil berlalu. Dan kemudian semuanya berakhir.

Sesampai di rumah aku hanya tercenung memikirkan kejadian yang baru saja kualami. Ternyata bersosialisasi itu kadang bisa menyebabkan kesalahpahaman. Apa yang kita lakukan, apa yang kita katakan bisa membawa pengaruh bagi orang lain. Apa yang kadang dirasa baik oleh kita belum tentu baik juga bagi orang lain. Apa yang kita anggap wajar ternyata bagi orang lain bisa saja menjadi sesuatu yang tidak wajar dan menjadi sumber masalah. Maka di sini kita perlu bersikap; jika memang apa yang kita lakukan dan katakan sudah melukai orang lain (sengaja maupun tidak) kita harus berani meminta maaf dengan penuh kesungguhan dan ketulusan. Sebaliknya, jika kita yang benar, kita patut mempertahankan kebenaran itu dan tetap bersikap bersahabat tanpa pernah punya keinginan untuk menghakimi.

Satu hal lagi, ternyata enggak ada gunanya orang bersikap ‘mentang-mentang’. Mentang-mentang punya jabatan. Mentang-mentang punya kuasa. Mentang-mentang kaya dan punya mobil bagus. Mentang-mentang… segalanya… trus bisa berbuat seenaknya kepada orang lain. Oohhh, ternyata… sikap seperti ini memang sangat menjengkelkan!!!

Tidak ada komentar: