Senin, 23 Maret 2009

Dilayani dan Melayani

Pagi ini, saat tengah antre di kantor pos karena hendak mengirim majalah kepada seorang teman di Purwokerto, ada satu kejadian yang menarik perhatianku. Kejadian ini berawal ketika petugas pos menimbang sekotak barang yang hendak dikirimkan ke suatu tempat. Ketika petugas pos menyebutkan biaya yang harus dibayarkan, si empunya barang (yang kebetulan cewek) nyeletuk, “Kok, lebih mahalan di sini ya daripada kalau kirim lewat TIKI?” Si petugas yang sedang mempersiapkan nota sejenak terdiam dan memandang cewek itu, “Lha, gimana mbak?” tanyanya. Petugas lain yang berada di sebelahnya berkata, “Yo, wis mbak, kalo ndak jadi ya ndak pa pa. Lebih baik dikirim lewat TIKI saja!” Si cewek sepertinya kurang terima dengan perkataan petugas ini. “Loh mbak, saya kan sudah sampai di sini?” kata cewek itu. “Kalau memberi pelayanan itu mbok yang baik tho mbak, yang ramah, jangan seperti itu. Saya laporkan nanti!” lanjutnya. Si petugas hanya terdiam sambil terus melayani yang lainnya. Sebelum pergi, si cewek masih sempat berkata, “Lain kali pelayanannya jangan seperti itu, mbak! Nanti bisa saya laporkan… “ ujarnya sambil melangkah pergi. “Ya, silahkan… “ jawab si petugas itu dengan sikap acuh tak acuh.

Kejadian ini mengingatkanku akan pengalaman yang terjadi beberapa waktu lalu. Saat itu aku dan istriku meluangkan waktu jalan-jalan ke sebuah mal yang tengah menggelar pameran komputer. “Wah kebetulan nih, aku lagi butuh box external untuk tempat hardiskku, “ begitu pikirku. Sesampai di salah satu counter aku segera menanyakan barang yang hendak kubeli. Petugas counter yang lagi sibuk mainan hp, segera menghampiriku, “Nggak ada mas, barangnya lagi kosong,” jawabnya dengan ogah-ogahan. Istriku yang berada di sampingku segera menarikku, “Nggak usah beli di sini mas, ditanya kok jawabnya seperti itu…” katanya memendam rasa jengkel.

Di kantorku, Toko Sarana Pertanian P, tiap hari selalu dikunjungi pembeli dari beragam latar belakang, tingkat ekonomi, budaya dan kebiasaan yang sungguh-sungguh berbeda. Ada yang dengan ramah dan sopan menanyakan ini dan itu. Namun tidak jarang pula ada pembeli yang begitu ‘cerewet’, selalu tidak sabaran bahkan ada pula yang selalu minta didahulukan meski sebenarnya ia datang paling belakangan. Tidak jarang pula, ada yang suka memotong pembicaraan ketika kami tengah menerangkan sesuatu kepada pembeli yang lain. Tentunya sebagai karyawan, kami dituntut untuk selalu memberikan pelayanan yang terbaik. Pembeli itu raja, kata pepatah. Namun tak jarang karena keterbatasan kami, kadang kami juga jengkel dengan tingkah polah pembeli yang seperti itu. Dan akibatnya pelayanan kami menjadi kurang (tidak) memuaskan.

Kiranya, mendapatkan pelayanan yang terbaik adalah hak semua orang. Namun karena tuntutan itu kadang kita kurang (tidak) mempedulikan orang yang memberikan pelayanan kepada kita. Bagaimana kondisinya, situasinya? Kita sering menganggap, karena kita adalah ‘raja’ maka kita bisa berbuat seenaknya, minta ini dan itu… Dan ketika tidak mendapatkan pelayanan yang baik maka kita boleh marah, jengkel, memaki-maki dll.

Semestinya, sebagai sesama manusia, kita dituntut untuk bisa saling menghargai. Bisa ‘tepo seliro’ dan saling nguwongke. Kalau toh kita sebagai orang yang dilayani, kita harus bisa bersikap sabar ketika situasi lagi ramai atau ada banyak orang lain yang punya keinginan sama dengan kita (minta dilayani). Sebaliknya, sebagai orang yang melayani, hendaknya selalu kita kembangkan sikap ramah, sopan dan kesungguhan hati dalam memberikan pelayanan.

1 komentar:

Anonim mengatakan...

Saya punya pengalaman yang bisa dijadikan pelajaran berharga soal melayani.

kira2 5 tahun yang lalu, saya mencari hotel untuk rombongan luar negeri. Saya telpon satu persatu hotel yang ada di Semarang.

Beberapa hotel mengirim fax penawaran mereka (itu biasa), tetapi salah satunya yakni hotel terkenal malah mengirim fax dengan tulisan Up-nya pakai tulisan tangan. Jelas saya tersinggung berat. Apa karena nama saya yang 'njawani' banget begini harus diperlakukan kayak begitu? Saya langsung berburu dengan mencari hotel yang lainnya lagi.

Dari beberapa hotel yang saya telpon, Ciputra (biarin aja ngiklan) memberikan yang terbaik buat saya. Mereka datang langsung dengan GM, dan Manager2 lainnya, dan memberikan roti buat saya. Itu jelas strategi marketing untuk meraih pelanggan, tapi saya ga peduli. Yang saya tahu mereka 'really care' sama saya dan menghormati saya sebagai calon klien.

Sejak itu saya menggunakan hotel tersebut, dengan jumlah tamu di akhir tahun hampir selalu mencapai kurang lebih 25 kamar.

Suatu hari saya bertemu dengan salah satu manager hotel yang 'meremehkan' saya itu dan berbincang2. Saya menceritakan kesalahan mereka yang sepele yakni 'tulisan tangan'. Setelah itu mereka merayu habis-habisan untuk saya pindah hotel. Tetapi tetap saja saya tak bisa melupakan kejadian itu.

Sayang... keuntungan yang sebenarnya bisa mereka dapatkan dalam jumlah besar dan bertahun-tahun (hingga sekarang) terlewatkan hanya karena kesalahan 'tulisan tangan' yang mereka kirimkan pada saya.

Ironis... kesalahan dalam melayani yang tragis.