Setiap melintasi taman itu, aku selalu melihatnya. Kadang ia duduk diam di bangku kayu satu-satunya yang terletak di tengah taman. Tatap matanya tajam memandang lurus ke depan. Namun tatap itu tak bercahaya dan kosong. Entah apa yang sedang dipikirkannya. Kadang pula ia terlihat menari-nari sambil tertawa cekikikan. Rambut panjangnya yang awut-awutan bergerak ke sana ke mari mengikuti tariannya yang tanpa irama. Pakaiannya kumal, kotor, penuh lobang di sana-sini. Bahkan penutup auratnya hanyalah selembar kain yang ditutupkan secara serampangan.
Menurut cerita ibuku, lelaki itu dahulu, tepatnya 6 tahun yang lalu, adalah salah satu warga di kampungku. Kampung Margojayan yang terletak di belakang taman itu. Namanya Sanjaya atau lebih dikenal dengan panggilan Jaya Pelit. Sanjaya adalah satu-satunya orang kaya di kampungku. Rumahnya bertingkat dua, sangat besar, dan dikelilingi pagar tinggi yang di atasnya ditaruh kawat berduri. Meski kaya, Sanjaya dikenal sebagai orang yang sombong dan pelit. Ia tidak pernah mau bergaul dengan warga kampung.
Di rumah besar itu, Sanjaya tinggal bersama seorang pembantu. Istrinya sudah lama menceraikannya. Menurut kabar burung yang beredar, sang istri tidak tahan dengan pola hidupnya yang hanya mengenal dua hal ‘kerja dan uang’. Yah, prinsip hidupnya memang mengharuskannya seperti itu. Hidup untuk bekerja dan memperoleh kekayaan sebanyak mungkin.
Suatu siang di bulan Desember, terjadi kebakaran hebat di rumah Sanjaya. Diduga akibat konsleting listrik. Kebetulan saat itu rumah dalam keadaan kosong. Pembantu satu-satunya yang bekerja di rumah itu pulang kampung sementara Sanjaya sendiri sedang berada di kantor. Karena jalan kampung yang sempit, mobil pemadam kebakaran kesulitan untuk mencapai lokasi. Apalagi rumah itu dikelilingi pagar tinggi yang terkunci rapat dan hanya bisa dibuka dengan remote control. Alhasil, warga sekitar juga tidak bisa berbuat apa-apa. Akhirnya, rumah itupun terbakar habis.
Sore harinya ketika Sanjaya pulang, ia hanya bisa melongo. Matanya nanar menyaksikan rumahnya yang kini tinggal puing. Ia menjerit sejadi-jadinya. Meratapi harta bendanya yang sudah musnah. Dan semenjak saat itu, semuanya perilakunya berubah. Ia menjadi pendiam dan kerap bertindak aneh. Tiba-tiba menangis histeris atau malah tertawa cekikikan. Rupanya karena begitu tertekan, ia sudah menjadi gila. Namun, tak seorang pun yang mau mempedulikannya.
12 komentar:
cerita yang bisa menjadi pelajaran buat kita mas, tangan mencencang bahu memikul siapa yang menebar keburukan maka ia akan mendapat balasan
kasian...di sekitar rumahku juga ada ibu-ibu yg kurang waras...konon katanya ditinggal gitu aja sama anaknya
kenapa gak dibawa ke yang kompeten untuk menanganinya? ke psikiater atau ke rumah sakit?
ah, artikel yg sangat bagus sobat.. mengingatkan kita, akan sebuah 'kegilaan' kepada harta yg akhirnya berujung 'kegilaan' pd jiwa..
Itulah orang yang diperbudak oleh harta.. Saat harta meninggalkannya, dunia seakan kiamat bagi dia..
Sebuah posting yang membut kita belajar agar jangan terlalu gila dengan harta..
Makasih sob... Oiya, Link anda lgsg ak pindah di "TEMAN UPEX".
Siapa pula yg meperdulikan mereka, tp apa hendak dikata...
memang itulah yg terjadi, mereka sama seperti kita namun hnya saja mereka berbeda dalam cara berpikirnya. itulah yg membuat mereka dihiraukan oleh kita-kita sebagai yg memiliki pikiran normal,,
sungguh bukan kehendak mereka untuk jadi gila, tp seharusnya kita ikut menolong dan memperhatikan orang seperti mereka
harta.. tahta.. wanita.. godaan duniawi yang terkadang harus ditebus dengan mahal ya bos.. terutama harta yang seakan ga ada ujungnya dan seperti yang ada dlm cerita diatas yang harus berujung pada kegilaan
Ah, tragisnya. Begitulah orang yang beriman kepada harta, bukan kepada Tuhan, begitu hartanya tiada, jiwanya langsung jatuh.
Lebih baik kaya hati daripada material.. Karena hanya itu tabungan kita untuk ke tempat yg lebih baik nanti.. (walau terlalu tinggi kalo saya bilang surga..)
Nice posting, Mas! Lam kenal ya!
Itu dia Pak, entah mengapa orang dengan gangguan jiwa suka sekali tercenung atau berpolah di taman kota. Kita yang mau sekedar duduk-duduk di taman, jadi takut.
Posting Komentar