Senin, 29 Maret 2010

Teladan Penjual Donat

“Donat… donat… donat.. donat… “ Suara bapak penjual donat itu selalu menerbitkan rasa iba di hatiku. Entah mengapa? Mungkin, karena suaranya yang agak-agak sengau atau mungkin juga karena melihat langkah kakinya yang tiada kenal lelah, menyusuri jalan setapak demi setapak, untuk menjajakan donat. Namun, dari hari ke hari, saat aku semakin sering mendengar suaranya, rasa iba itu berubah menjadi kekaguman.

Entah, mulai jam berapa, bapak penjual donat itu keluar dari rumah, aku tidak tahu. Yang aku tahu, saat sebagian besar orang masih menikmati suasana pagi dengan membaca koran, bercanda dengan cucu, menonton berita dan gosip, atau menikmati sepiring gorengan ditemani secangkir teh hangat, bapak itu sudah ada di jalanan sambil memanggul susunan rak-rak plastik berisikan donat. Suaranya yang khas meluncur deras, berharap ada orang-orang yang akan segera membeli dagangannya. Kadang berhasil, tapi tak jarang sia-sia. Namun langkahnya terus terayun. Bahkan hingga sang malam memeluk raganya.

Perjuangan yang luar biasa. Teladan hidup yang patut untuk dicontoh. Jujur, aku merasa malu melihat bapak penjual donat itu. Aku yang dikaruniai pekerjaan yang lebih baik, di kantor yang nyaman, tidak kepanasan, tidak kehujanan, seringkali malah tidak berusaha bekerja dengan sebaik-baiknya. Hanya bekerja seadanya dan lebih banyak ‘leyeh-leyeh’ (bersantai-santai) karena merasa pekerjaan sudah beres.

Terima kasih, Pak. Suara khasmu telah membuka mata hatiku. Ayunan langkah kakimu membangkitkan semangatku untuk memperbaiki sikap-sikap yang kurang pantas, yang aku lakukan selama ini. Aku harus bekerja dengan baik karena itu adalah bukti rasa syukurku. Dan karena, ada lebih banyak orang yang nasibnya tidak seberuntung diriku. Kepanasan, kehujanan, bergelut dengan sampah, dikejar-kejar petugas, bertaruh nyawa, hanya demi mendapatkan penghidupan yang lebih baik.

16 komentar:

BENY KADIR mengatakan...

Wow,syukur bisa masuk ni.
Apa kabar,Mas?

Cerita menarik yg menginspirasi kita semua karena keuletan seorang penjual donat.
Mantap,Mas.

BENY KADIR mengatakan...

O ya,Mas komentar tentang lahirnya keponakan,Mas saya kirim lewat email malam Minggu yg lalu.
Moga saya tdk lagi kesulitan masuk kolom komentarnya.
Salam buat Mas Albert sekeluarga.

Fanda Classiclit mengatakan...

Betul mas Goen! Sering kita malah menyia-nyiakan karunia yg kita dapat dengan tidak mengoptimalkannya.

megi mengatakan...

di lingkungan t4 tinggal saya yg jual malah anak kecil, kasihan... :(

Fais Wahid mengatakan...

saYa sama ma mbak megi kasihan juga yach...
dan yang paling ku sesaLi adaLah keborosan aku seLama ini...

Darin mengatakan...

tulisan mas goen memang beda. dapat menguraikan makna kehidupan dari hal2 yang terlihat remeh.
saya malah jadi kepikiran ma tukang2 yang lewat rumah. tukang somay, sayur, roti, es potong...duh bgmana hidup mereka ya..
makasih mas dah memberi pencerahan.

Rock mengatakan...

Artikel yang sangat bermanfaat mas...

latifah hizboel mengatakan...

Perjuangan yang patut kita tauladani, begitu gigh dan uletnya, tanpa rasa lelah dan tanpa memikirkan kesenangannya sendiri. Melainkan tanggung ajawab yang besar untuk keluarga.

Maaf nih pak baru mampir lagi.

non inge mengatakan...

belajar dari kehidupan disekitar kita yang kadang tak kita pedulikan

like this post ^^

have a nice day Om ^^

catatan kecilku mengatakan...

Mas, tulisannya sentilan utkku karena terkadang aku pun kurang maksimal dalam bekerja... karena sudah merasa dalam 'kenyamanan'

the others mengatakan...

Penjual donat yg sederhana telah memberikan pelajaran berharga khususnya bagiku... ^_^

Seiri Hanako mengatakan...

ceritanya sungguh mengispirasi...

munir mengatakan...

memang banyak teladan dari hal-hal kecil sekitar kita, postingan yang menginspirasi mas

www.nukangdesign.com mengatakan...

Berkunjung kembali .....God Bless You...

Popcorn's Teen mengatakan...

Terkadang. Kita sering lupa, orang2 di sekitar kita (yang kita anggap sepele)

Clara Canceriana mengatakan...

seringkali kita harus belajar dari org yg berada di bawah kita